Sabtu, 26 Maret 2011

MODEL ILLUMINATIF
(Sebuah Evaluasi Kurikulum dengan Pendekatan Kualitatif)


LAPORAN HASIL MEMBACA
Diajukan sebagai bahan penilaian UAS mata kuliah Pengembangan Kurikulum yang diampu oleh DR. Asep Nurjamin




Oleh
Ade Supriatna
10862001










PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
GARUT
2011



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Alloh SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan laporan membaca buku dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin laporan membaca buku ini tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Laporan membaca buku  ini dibuat agar pembaca dapat mengetahui seberapa besar pengaruh evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model iluminatif itu dapat meningkatkan mutu pendidikan, yang kami sajikan berdasarkan hasil bacaan dan penelaahan dari buku yang berjudul Evaluasi Kurikulum. Laporan membaca buku ini di buat oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Alloh SWT akhirnya laporan membaca ini dapat terselesaikan.
Laporan membaca ini memuat tentang isi dari evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model iluminatif. Sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu agar dapat menyelesaikan laporan membaca ini.
Semoga laporan membaca buku ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun laporan membaca ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.



Penulis




BAB 1
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Konsep evaluasi kurikulum dapat dipandang secara luas, yaitu mencakup evaluasi terhadap seluruh komponen dan kegiatan pendidikan, tetapi dapat pula dibatasi secara sempit yang hanya ditekankan pada hasil-hasil atau perilaku yang dicapai siswa.
Untuk menyikapi permasalahan tersebut kegiatan evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan suatu kurikulum, baik pada level makro maupun mikro. Komponen evaluasi ini ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan, serta menilai proses implementasi kurikulum secara keseluruhan, termasuk juga menilai kegiatan evaluasi tersebut. Jadi, dalam hal ini yang menjadi penentu adalah faktor tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald C. Doll (1974) yang menyatakan bahwa orientasi terhadap tujuan merupakan salah satu syarat atau karakteristik dari evaluasi. Pada bagian lainnya, Doll mengemukakan dua dimensi yang harus ada dalam evaluasi kurikulum, yaitu dimensi kuantitas (the dimension of quantity) dan dimensi kualitas (the dimension quality). Dimensi pertama berhubungan dengan berapa banyak program-program yang dievaluasi, sedangkan dimensi kedua berhubungan dengan tujuan-tujuan apa saja yang disoroti dalam evaluasi dan bagaimana kualitas dari pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Secara komprehensif mengenai kualitas suatu kurikulum yang dievaluasi terdapat beberapa komponen atau dimensi yang perlu dijadikan sasaran atau lingkup evaluasi. Sudjana dan Ibrahim (1989) dalam hal ini mengemukakan tiga komponen yaitu komponen program pendidikan, komponen proses pelaksanaan dan komponen hasil-hasil yang dicapai. Pada akhirnya hasil evaluasi ini dapat berperan sebagai masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan dalam pengambilan keputusan kurikulum khususnya dan pendidikan ada umumnya, baik bagi para pengembang kurikulum dan para pemegang kebijakan pendidikan, maupun bagi para pelaksana kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan (seperti guru, kepala sekolah). Di dalam mengevaluasi kurikulum banyak model yang ditawarkan oleh pakar evaluasi kurikulum. Menurut Ornstein dan Hunkins (1985: 261) model evaluasi kurikulum secara garis besarnya ada dua, yakni: (1) model evaluasi kurikulum yang bersifat kualitatif. Ke dalam model ini termasuk model studi kasus,  model illuminatif, dan model responsif; (2) Model kuantitatif seperti model evaluasi kurikulum ala Tyler, model teoretik Taylor dan Maguire, model pendekatan sistem Alkin , model Countenance Stake, dan model CIPP.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membuat laporan hasil membaca dari buku berjudul  Evaluasi Kurikulum, yang bertujuan untuk mengeksplorasi evaluasi kurikulum yang bersifat pendekatan kualitatif model illuminatif.

B.    Pembatasan Masalah
Mengingat adanya keterbatasan pada diri penulis, agar laporan  ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan lebih khusus, maka penulis membatasi permasalahan dengan mengkaji model illuminatif mengenai fungsi evaluasi sebagai input untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan program yang sedang dikembangkan.


C.    Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas  yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dilaporkan adalah:
1.     Apakah yang dimaksud evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif ?
2.     Bagaimana evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif itu?
3.    Apa tujuan dari  evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif ?

D.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang, maka tujuan dari penulisan laporan ini diantaranya:
1.     Untuk mengetahui pengertian evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif.
2.     Untuk mengetahui evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif.
3.     Bagaimana tujuan evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif di sekolah-sekolah.

E.    Manfaat Hasil Penulisan
Hasil penulisan laporan membaca ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1)     Para evaluator, masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan dalam pengambilan keputusan kurikulum.
2)     Guru, untuk dijadikan pedoman pembelajaran.
3)     Sekolah, untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah.



BAB 2
MODEL ILLUMINATIF
Menurut Prof. Dr. S. Hamid Hasan
A.    Identitas Buku
Judul Buku     : EVALUASI KURIKULUM
Penulis            : Prof. Dr. S. Hamid Hasan
Penerbit          : PT REMAJA ROSDAKARYA
                          Terbitan Pertama, Cetakan kedua, 2009

B.    Pengertian Evaluasi Kurikulum Model Illuminatif
Model evaluasi illuminatif mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi sosial. Model illuminatif memberikan perhatian terhadap lingkungan luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Bagi  Indonesia, perhatian yang luas dari model illuminatif memberikan kemungkinan pemahaman terhadap KTSP suatu satuan pendidikan yang lebih baik.
Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan banyak dikaitkan dengan pendekatan dibidang antropologi. Salah seorang tokoh yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini adalah Malcolm Parlett. (Lewy, 1976). Model ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap model pengukuran dan persesuian. Kedua model yang terakhir ini dipandang kurang menghasilkan informasi yang tuntas dan riil mengenai program pendidikan yang dinilainya: “Their aim (unfulfilled) of achieving fully objective methods has led to studies that are artificial and restricted in scope” (Parlett and Hamilton, 1972, h.1)
Model illuminatif lebih menekankan pada evaluasi kualitatif dan terbuka. Program pendidikan yang dinilai tidak ditinjau sebagai sesuatu yang terpisah melainkan dalam hubungan dengan sesuatu learning milleu , dalam konteks sekolah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial, dimana guru dan murid bekerja sama. Menghubungkan kegiatan evaluasi dengan sesuatu milleu membawa penilai kepada situasi yang kongkrit tapi juga kompleks karena inovasi yang akan dinilai itu tidak dipandang sebagai unsur yang terpisah (berdiri sendiri) melainkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem pedidikan disekolah. Dan ini memang tidak dapat dipungkiri, karena bila inovasi yang dinilai tersebut ditempatkan dalam suatu isolasi, hal ini dapat menghasilkan situasi yang artificial. Sehubungan dengan itu, pendekatan evaluasi yang diajukan oleh model ini lebih mirip dengan pendekatan yang diterapkan dalam bidang studi antropologi.
Tujuan evaluasi menurut model illuminatif adalah mengadakan studi terhadap  sistem dan program inovasi yang cermat. Model ini juga memandang fungsi evaluasi sebagai input untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan program yang sedang dikembangkan. Studi difokuskan pada permasalahan bagaimana implementasi suatu sistem dipengaruhi oleh situasi sekolah tempat sistem tersebut dikembangkan, keunggulan dan kelemahan serta pengaruhnya terhadap proses belajar siswa. Hasil evaluasi ditekankan pada deskripsi dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi sebagaimana model sebelumnya. Dalam pelaksanaan evaluasi, model ini lebih menekankan penggunaan judgment, selaras dengan semboyannya the judgment is the evaluation. Disamping itu ikut pula dijadikan dasar evaluasi didalam model ini adalah efek samping dari program yang bersangkutan seperti kebosanan yang terlihat pada siswa, ketergantungan secara intelektual, hambatan bagi perkembangan sikap sosial, dan sebagainya. Dengan kata lain, dasar evaluasi dari model ini mencakup baik kurikulum yang terlihat maupun kurikulum tersembunyi (Snyder, 1971). Menurut model illuminatif , kedua jenis kurikulum diatas sama pentingnya karena keduanya mempunyai pengaruh di dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.
Model evaluasi ini mengajukan pendekatan yang merupakan alternative bagi apa yang disebut agricultural-botany paradigm, yang selain digunakan dalam ilmu pengetahuan alam juga digunakan dalam eksperimen di bidang psikologi (Parlett and Hamilton, 1972). Pendekatan yang digunakan model ini sebagaimana telah disinggung dalam bagian permulaan, lebih menyerupai pendekatan yang diterapkan dalam bidang antropologi sosial, psikiatri, dan jenis-jenis penelitian tertentu dibidang sosiologi.

C.    Dasar-dasar Evaluasi dengan Model Illuminaatif
Model illuminatif mengarahkan kegiatan evaluasinya tidak hanya pada aspek hasil belajar siswa melainkan pada aspek yang lebih luas. Ada dua dasar konsep utama, yaitu:
1.      sistem instruksi (instructional system)
Sistem instruksional disini diartikan sebagai “katalog, perspektus dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan dan pengajaran”.(Parlett dan Hamilton, 1976:89)
2.     lingkungan belajar (learning milieu).
Lingkungan belajar adalah “lingkungan sosial psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi” (Parlett dan Hamilton, 1976:90)
Jenis data yang dikumpulkan pada umumnya data subyektif (judgment data) dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
1.     Menggunakan prosedur yang disebut Progressive focusing dengan langkah-langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih terarah, analisis sebab-akibat.
2.     Bersifat kualitatif-terbuka dan fleksibel-eklektif
3.     Teknik evaluasi mencakup observasi, wawancara, angket, analisis dokumen dan bila perlu mencakup pula tes.

D.    Bentuk Evaluasi model Illuminatif
Sehubungan dengan tujuan dari pendekatan evaluasi yang dianut oleh model illuminatif, ada tiga bentuk fase kegiatan evaluasi yang diajukan secara berturut-turut disebut “observe”, inquiry further, and seek to explain”.(Parlett and Hamilton, 1972, h.16). Uraian bentuk evaluasi kegiatan dari masing-masing tahap diatas, secara singkat adalah sebagai berikut:
a.      Tahap 1: Observe. Dalam tahap-tahap ini penilai mengunjungi sekolah dimana program inovasi itu sedang dikembangkan. Dalam kesempatan ini penilai akan mendengarkan dan melihat berbagai peristiwa, persoalan serta reaksi dari guru maupun siswa terhadap pelaksanaan program tersebut. Kunjungan dalam tahap ini dapat dipandang sebagai orientasi untuk lebih mengenal program yang bersangkutan dari dekat, dimana disamping pengamatan, wawancara secara informal dengan guru-guru ataupun para siswa dapat dilakukan.
Tahap 2: inquiry further. Dalam tahap yang kedua ini berbagai persoalan yang terlihat atau terdengar dalam tahap ke satu kini diseleksi untuk mendapatkan perhatian dan penelitian lebih lanjut. Mengingat dalam tahap ke satu penilai sudah memperoleh pengetahuan yang cukup memadai mengenai program yang bersangkutan, pertanyaan-pertanyaan mengenai persoalan-persoalan tertentu kepada para guru dan siswa kini dapat lebih intensif dan terarah. Dengan kata lain, studi terhadap berbagai persoalan yang telah diseleksi tersebut menjadi lebih sistematik dan terarah, tapi belum sampai pada penelitian tentang sebab-sebab dari masing-masing persoalan.
Tahap 3:Seek to explain. Dalam tahap ketiga,penilai mulai meneliti sebab-akibat dari masing-masing persoalan. Disini mulai digali faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan tadi. Dalam hubungan ini data-data yang diperoleh secara terpisah-pisah tadi mulai disusun dan dihubungkan dalam kesatuan situasi yang terdapat pada sekolah yang bersangkuatan. Pada tahap inilah mulai dilakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dimana data-data tersebut telah disusun serta dihubungkan dengan tujuan pendidikan.

E.    Implementasi
Sumbangan terbesar model iluminatif adalah kritikannya terhadap penggunaan model scientific experiment dalam penilaian pendidikan yang dirasakan kurang tepat. Pendidikan sebagai upaya ”memanusiakan manusia” tidak dapat dideskripsikan secara matematis. Aspek-aspek kemanusiaan tidak semuanya dapat dilakukan pengukuran secara mudah dan tepat, seperti: perasaan, sikap, motivasi, semangat, dan sebagainya.
Keberhasilan suatu kurikulum itu sangat bergantung kepada bagaimana kurikulum itu dilaksanakan atau diimplementasikan. Pengimplementasian evaluasi terhadap konsep kurikulum yang menekankan isi memberikan peranan besar pada analisis pengetahuan baru yang ada, konsep penilaian menuntut penilaian. Secara rinci tentang lingkungan belajar, dan konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur belajar
Model evaluasi kaitnya dengan teori kurikulum perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulumnya, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi, model evaluasi yang bersifat komporatif atau menekankan pada objek sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi, dalam kurikulum menekankan situasi sukar disusun evaluasi yang bersifat kompratif karena konteksnya bukan terhadap guru atau satu tujuan tetapi terdapat banyak tujuan.
Pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit lagi, karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utama adalah aktivitas dan kemampuan siswa salah satu pemecahan bagi masalah Teori kurikulum dan teori Evaluasi model evaluasi kurikulum berkaitan erat dengan konsep kurikulum yang digunakan, seperti model pengembangan dan penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi
Macam-macam model evaluasi yang dipergunakan bertumpu pada aspek -aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat kompratif berkaitan erat dengan tingkah-tingkah laku individu, evaluasi yang menekakan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi kurikulum model ( Pendekatan ) antropologis, Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum.


BAB 3
PEMBAHASAN
A.    Posisi Penulis Buku pada Konteks Keilmuan
Buku yang berjudul Evaluasi Kurikulum yang ditulis oleh Prof. Dr. S. Hamid Hasan,  berisi suatu uraian yang menyeluruh tentang evaluasi kurikulum Dalam isi buku ini sangat berharga bagi para evaluator, guru, maupun mahasiswa, karena:
1.     Adanya  tekanan untuk melakukan evaluasi.
2.     Memberikan gambaran dasar bidang kajian evaluasi kurikulum.
3.     Memberikan kontribusi positif untuk memilih model yang tersedia untuk dipilih sesuai dengan yang diinginkan.
Penulis ini merupakan ahli pendidikan yang berpengalaman dan memiliki spesialisasi dalam bidang kurikulum. Juga penulis memberikan landasan-landasan yang konseptual, komprehensif dan mendalam sehingga informasi yang dihasilkan dapat dijadikan bahan dalam pembuatan keputusan ynag benar dan bijak.
B.    Keunggulan Metode Illuminatif
Keunggulan Model Illuminatif, yaitu menekankan pentingnya dilakukan penilaian yang kontinue/berkelanjutan selama proses pelaksanaan pendidikan sedang berlangsung. Gagasan yang terkandung dalam model ini memang penting dan menunjang proses penyempurnaan kurikulum karena pihak pengembang kuirkulum akan memperoleh informasi yang cukup terintegrasi sebagai dasar untuk mengoreksi dan menyempurnakan kurikulum yang sedang dikembanagkan. Disamping itu, jarak antara pengumpulan data dan laporan hasil penilaian cukup pendek sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan pada waktunya.
C.    Kelemahan dari Metode Illuminatif
Keterbatasan dari model Illuminatif, yaitu terdapatnya kelemahan terutama terletak pada segi teknis pelaksanaannya:
1.     Kegiatan penilaian tidak didahului oleh adanya perumusan kriteria secara eksplisit dan penyimpulan evaluasi.
2.     Objektivitas penilaian yang dilakukan perlu dipersoalkan
3.     Adanya kecenderungan untuk menggunakan alat penilaian yang ”terbuka” dalam arti kurang spesifik dan berstruktur.
4.     Tidak menekankan pentingnya penilaian terhadap program bahan-bahan kurikulum selama bahan-bahan tersebut disusun dalam tahap perencanaan.

D.    Kemungkinan Untuk diimplementasikan
Model evaluasi illuminatif mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi sosial. Model illuminatif memberikan perhatian terhadap lingkungan luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Bagi  Indonesia, perhatian yang luas dari model illuminatif memberikan kemungkinan pemahaman terhadap KTSP suatu satuan pendidikan yang lebih baik. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan. KTSP sebagai hasil pengembangan Standar Isi dan Kompetensi Lulusan di suatu sistem instruksi. Sedangkan program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk suatu kegiatan kelas tertentu.. Misalnya yang berhubungan dengan minat, kemampuan, pengalaman,dan lain sebagainya dari peserta didik. Sesungguhnya sebagai implementasi yang diinginkan evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai antecendents, transaksi , dan hasil yang ada di suatu satuan pendidikan.



BAB 4
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil bacaan dari buku yang berjudul  tersebut ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Evaluasi Kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif adalah suatu evaluasi kurikulum pendidikan yang dinilai tidak ditinjau sebagai sesuatu yang terpisah melainkan dalam hubungan dengan sesuatu learning milleu,dalam konteks sekolah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial, dimana guru dan murid bekerja sama.
2.     Evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model iluminatif menghubungkan kegiatan evaluasi dengan mempertimbangkan mengenai pelaksanaan sesuatu program, pengaruh faktor lingkungan, serta pengaruh program terhadap perkembangan hasil belajar yang  membawa penilai kepada situasi yang kongkrit tapi juga kompleks karena inovasi yang akan dinilai itu tidak dipandang sebagai unsur yang terpisah (berdiri sendiri) melainkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem pedidikan disekolah. Dan ini memang tidak dapat dipungkiri, karena bila inovasi yang dinilai tersebut ditempatkan dalam suatu isolasi, hal ini dapat menghasilkan situasi yang artificial.
3.     Tujuan dari evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model iluminatif adalah mengadakan studi terhadap program inovasi, yaitu bagaimana pelaksanaan itu oleh situasi sekolah dimana program yang bersangkutan dikembangkan, apa kebaikan-kebaikan dan kelemahan-kelemahan dan bagaimana program tersebut mempengaruhi pengalaman-pengalaman belajar para siswa.
B.    Saran
Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki guna menunjang evaluasi kurikulum, diantaranya:
1.     Para  evaluator hendaknya dapat memilih pendekatan dalam melakukan evaluasi terhadap kurikulum karena akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
2.     Evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model iluminatif baik untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk melakukan evaluasi kurikulum.
3.     Guru hendaknya melakukan inovasi-inovasi yang lebih lanjut guna untuk meningkatkan pembelajaran sesuai dengan tujuan dari evaluasi kurikulun pendekatan kualitatif model iluminatif.
4.     Evaluasi kurikulum pendekatan kualitatif model illuminatif diharapkan akan menambah khazanah informasi kepada para pelaku pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, dan Mudjiona. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: pusat Perbukuan DEPDIKBUD dan PT Rineka Cipta

Hamid Hasan, S. (2009). Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remeja Rosdakarya.

Herry Hermawan, Asep dkk. Pengembangan kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas Terbuka

Ngalim Purwanto, M, Drs, MP. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Pengelolaan Pendidikan. Tim Dosen MKDK Pengelolaan Pendidikan IKIP Bandung 1994


TEORI BELAJAR MENGAJAR
MENURUT JEROME S. BRUNER
Pada Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar


MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"    TEORI PEMBELAJARAN "


Dibuat Oleh
ADE SUPRIATNA
Nim 10862001



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM PENDIDIKAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
GARUT
2011


BAB I
PENDAHULUAN 

Mata Pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.Matematika mengkaji benda abstrak (benda pikiran) yang disusun dalam suatu sistem aksiomatis dengan menggunakan simbol (lambang) dan penalaran deduktif (Sutawijaya, 1997 : 176). Matematika berkenaan dengan ide (gagasan-gagasan), aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, (Hudoyo, 1990:3).Sebagai guru matematika dalam menanamkan pemahaman seseorang belajar matematika utamanya bagaimana menanamkan pengetahuan konsep-konsep dan pengetahuan prosedural.
 Salah satu untuk dapat memahami konsep-konsep dan prosedural,  guru perlu mengetahui berbagai teori belajar matematika, unsur pokok dalam pembelajaran matematika adalah guru sebagai salah satu perancang proses, proses yang sengaja dirancang selanjutnya disebut proses pembelajaran,siswa sebagai pelaksanaan kegiatan belajar, dan matematika sekolah sebagai objek yang dipelajari dalam hal ini sebagai salah satu bidang studi dalam pelajaran.
Dalam makalah ini penulis menjelaskan  teori belajar dari para ahli  yakni Teori Belajar Bruner kemudian bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika, sehingga asumsi dari siswa bahwa mata pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling sulit sedikit akan terkikis dengan digunakan teori – teori belajar yang tepat.

BAB II
TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER

A.    Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Berhubungan dengan hal itu, antara lain:
a.      Perkembangan intelektual anak
Menurut penelitian  J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.
1.  Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.
2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialami sebelumnya.
3.   Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya.
b.     Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:
1.     Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
2.     Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.
3.     Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
c.      Kurikulum spiral
J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan bentuk spiral. Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai dengan benda kongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai dengan kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum dipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner dimulai dari cara intuitif  keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya, jika ingin menunjukkan angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya.
Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkan pengertian 3 diberikan 3 contoh himpunan mangga. Tiga mangga sama dengan 3 mangga.
B.    Alat-Alat Mengajar
Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya.
a.   alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”. Yaitu menyajikan bahan-bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.
b.     Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau struktur pokok.
c.    Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian tentang suatu ide atau gejala.
d.   Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaran berprograma, yang menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi ballikan atau feedback tentang responds murid.
C. Aplikasi  Teori Bruner  Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
  Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
  1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
  2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin  yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
  3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
  4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16)  
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. 
1.  Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a.  Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek.
                            (a)













                            (b)










   










                            (c)





















Untuk gambar        a    ukurannya:        Panjang = 12 satuan , Lebar    =  1 satuan
b    ukurannya:        Panjang = 10 satuan , Lebar   =  2 satuan
c    ukurannya:        Panjang =   5 satuan , Lebar    = 4 satuan
   b. Tahap Ikonik
  Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
Penyajian pada tahap ini  apat diberikan gambar-gambar dan Anda dapat berikan sebagai berikut.
No
Gambar Persegi Panjang
Luas yang dihitung dari membilang banyak satuan persegi (L)
Banyak satuan ukuran panjang
(p)
Banyak satuan ukuran lebar
(l)
Hubungan antara satuan panjang dengan satuan lebar
1






2.











3.



















4.



























c.  Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang  p, ukuran lebarnya  l , dan luas daerah persegi panjang 
 p
                                         l                                                                                                        

                   maka jawaban yang diharapkan    L  =  p x l  satuan
Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar. 
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1.   Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
2.  Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
3.  Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. 
4.  Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu  si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
5.  Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasar dapat dilakukan dengan metode penemuan.
BAB III

KESIMPULAN


Bruner menjadi sangat terkenal karena dia lebih peduli terhadap proses belajar daripada hasil belajar,metode yang digunakannya adalah metode Penemuan (discovery learning).Discovery learning dari Bruner merupakan model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivitas.
Dalam Teori Bruner dengan metode Penemuan (discovery learning), kekurangannya tidak bisa digunakan pada semua materi dalam matematika hanya beberapa materi saja yang dapat digunakan dengan metode penemuan.
Teori belajar matematika menurut J.S. Bruner tidak jauh berbeda dengan teori J. Piaget. Menurut teori J.S. Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep dilakukan oleh siswa sendiri dan antara pelajaran yang lalu dengan yang dipelajari harus ada kaitannya
Menurut Bruner, agar proses mempelajari sesuatu pengetahuan atau kemampuan berlangsung secara optimal, dalam arti pengetahuan atau kemampuan dapat diinternalisasi dalam struktur kognitif orang yang bersangkutan.Kemampuan tersebut dibagi dalam 3 tahap yaitu, tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.

DAFTAR PUSTAKA
Mulyati, Psikologi Belajar, Yogyakarta: C.V. Andi Offset. 2005

Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. 2000

Simanjutak, Lisnawaty, Metode Mengajar Matematika, Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993

Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta. 199

Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006

www.manmodelgorontalo.com